Biografi KH Hasyim Asy'ari


Ulama, Pendiri Nadhatul Ulama, dan Pendiri 

Ponpes Tebuireng


K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 24 Dzulqa’dah 1827 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Kelahirannya berlangsung di kediaman kakeknya, Kiai Usman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang, sebuah dusun di Wilayah Tambakrejo Kecamatan Jombang. Ia adalah putra dari Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Konon, sejak masa kehamilan yang berlangsung empat bulan, sudah terlihat tanda-tanda yang mengisyaratkan bahwa calon jabang bayi dalam kandungan itu, kelak akan menjadi tokoh besar. Antara lain, sang ibu, Nyai Halimah ketika mengandung putra ketiganya ini pernah bermimpi perutnya kejatuhan bulan purnama. Ketika hal ini diberitahukan kepada suaminya, ia pun tak tahu apa yang akan terjadi. Cuma, Kiai Asy’ari pernah mendengar bahwa mimpi semacam itu merupakan pertanda anugerah Allah. Boleh jadi, itu lantaran sang ibu jauh sebelumnya sudah melaksanakan olah batin dengan berpuasa tiga tahun berturut-turut. Niat beliau, satu tahun berpuasa untuk dirinya sendiri, satu tahun lagi untuk anak cucunya dan satu tahun berikutnya untuk seluruh santrinya.

Hasyim kecil tumbuh dalam asuhan ayah ibu dan kakek neneknya di Gedang. Mereka mencurahkan kasih sayang, juga memperkenalkan kitab suci Al Quran dan budi pekerti luhur serta menanamkan jiwa kepemimpinan dan semangat juang. Sejak kecil Hasyim sudah menunjukkan jiwa dan watak yang santun tetapi tegas. Tak heran jika Hasyim tampak menonjol di antara teman-temannya.
Menjelang usia enam tahun, Hasyim diajak ayahnya pindah ke Desa Keras, Kecamatan Diwek, sepuluh kilo meter di sebelah selatan Kota Jombang. Di tempat inilah Kiai Asy’ari mengembangkan ilmu dengan membangun masjid dan pondok pesantren. Di tempat ini, Hasyim dididik intensif mengenai dasar-dasar ilmu agama hingga usia 13 tahun.


Haus Ilmu


Seperti lazimnya anak seorang kiai di masa itu, Hasyim tak puas hanya dengan belajar kepada ayahnya sendiri. Didorong oleh tingginya cita-cita, maka setelah cukup memiliki bekal, Hasyim mengemukakan maksudnya untuk merantau. Kedua orang tuanya memahami maksud Hasyim yang ingin menambah pengetahuan dan meluaskan wawasan. Karena itu, di usia 15 tahun, diiringi doa restu ayah ibu, Hasyim berangkat menuntut ilmu yang lebih mendalam.

Mula-mula masuk Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan. Lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban. Selanjutnya Hasyim menimba ilmu di Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Bangkalan Madura ada seorang kiai besar bernama Kiai Muhammad Kholil yang terkenal sebagai waliyullah, Hasyim pun tertarik. Maka setelah tamat mengaji di Tenggilis, Hasyim berangkat menuju Pondok Pesantren Demangan Bangkalan. Hasyim tak lama belajar kepada Kiai Kholil. Karena ilmunya sudah dianggap cukup, maka Kiai Kholil meminta Hasyim segera pulang dan menularkan ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan.
Namun, Hasyim yang haus ilmu tak langsung pulang. Keinginan memperdalam ilmu, mendorongnya untuk berguru kepada kiai Ya’qub di Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Rupanya, Kiai Ya’qub yang arif, terus mengamati kecerdasan dan keistimewaan santri baru ini, sehingga kemudian tertarik untuk mengambilnya menjadi menantu.

Sebagai santri yang selalu taat pada perintah gurunya, Hasyim tak kuasa menolak permintaan Kiai Ya’qub. Apalagi setelah Kiai Ya’qub menyakinkan bahwa pernikahan tidak menjadi kendala dalam menuntut ilmu. Akhirnya, setelah memperoleh restu dari ayah ibu, pernikahan Hasyim dengan putri Kiai Ya’qub yang bernama Nafisah dilangsungkan pada tahun 1892. Saat itu Hasyim baru berusia 21 tahun.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan istrinya yang sedang hamil muda, Hasyim berangkat menunaikan ibadah ke tanah suci sambil memperdalam ilmu. Tujuh bulan di Mekkah, Nafisah jatuh sakit dan wafat. Kesedihan kian bertumpuk lantaran empat puluh hari kemudian, buah hatinya, Abdullah, yang diharapkan menjadi pelipur lara, meninggal dunia mengikuti ibunya.

Kesedihan itu hampir tak tertanggungkan oleh Hasyim muda. Untuk menghibur diri, Hasyim lebih giat beribadah di Masjidilharam serta lebih tekun mengkaji kitab-kitab agama. Tahun berikutnya, Hasyim kembali ke tanah air tapi tak seberapa lama karena pada akhir tahun yang sama sudah kembali ke Mekkah disertai adik kandungnya, Anis. Mungkin Allah memang sengaja menguji ketabahan, karena setelah bermukim beberapa waktu di Mekkah, Anis pun meninggal.

Meski sedih Hasyim pantang surut mengejar cita-cita. Waktunya dicurahkan penuh untuk meningkatkan ibadah dan menimba pengetahuan. Hasyim juga menyempatkan berziarah ke tempat-tempat mustajab guna memanjatkan doa agar cita-citanya terkabul, termasuk diantaranya ke makam Rasulullah di Madinah. Bahkan setiap Sabtu pagi, Hasyim berangkat menuju goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km di luar kota Mekkah. Di gua tempat Nabi Muhammad melakukan khalwat hingga menerima wahyu pertama ini, Hasyim sering menyendiri sambil mengkaji kitab-kitab agama.

Selama di Mekkah, Hasyim berguru kepada banyak ulama besar. Antara lain Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syeikh Muhammad Mahfudz At Turmudzi dan Syeikh Khotib Minangkabawi, sebelum beliau mengikuti faham reformasi Syeikh Muhammad Abduh. Juga kepada Syeikh Ahmad Amin Al Aththar, Syeikh Ibrahim Arab, Syeikh Said Yamani, Syeikh Rahmatullah dan Syeikh Sholeh Bafadal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain, Sayyid Abbas Al Maliki, Sayyid Sulthon Hasyim Ad Daghistani, Sayyid Abdullah Az Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hassan Al Aththas, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad Dimyati dan Sayyid Husein Al Habsyi yang ketika itu menjadi Mufti Mekkah.

Dari sekian banyak guru, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuannya. Mereka adalah Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, Sayyid Husain Al Habsyi dan Syeikh Mahfudz At Turmudzi. Ketika belajar di tanah suci, Hasyim menunjukkan minat yang besar pada semua disiplin ilmu. Tetapi yang paling menonjol terlihat pada Ilmu Hadits.

Menurut sejarawan Arab, Sayyid Muhammad Asad Syihab, para pelajar di tanah haram yang datang dari berbagai belahan dunia, terutama Afrika dan Asia, ketika itu sempat menggalang solidaritas untuk membebaskan umat Islam dan tanah air mereka dari penindasan kolonialisme Barat. Pada suatu malam di bulan suci Ramadlan, mereka berdiri di depan Multazam dan bersumpah demi Allah, masing-masing akan berjuang untuk menegakkan kalimah Allah, memperkokoh umat Islam dengan membangkitkan kesadaran untuk bersatu serta memperdalam ilmu dan agama demi mendapatkan ridla Allah tanpa mengharapkan harta dan kedudukan bagi diri sendiri. Ikrar suci ini bukan cuma dipegang teguh Hasyim muda, melainkan juga dilaksanakan sepenuhnya ketika ia pulang ke tanah air dan menjadi ulama besar.
Meski sudah lama merantau, begitu pulang ke kampung halaman, Kiai Hasyim tak lupa pada kebiasaannya dulu yaitu mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Di sela-sela kegiatan mengajar Hasyim meluangkan waktu pergi ke sawah dan ke pasar. Ia ingin mengajarkan agar berusaha mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Dari hasil usahanya, Kiai Hasyim mampu membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan berkecukupan. Beberapa santri kerap membantu kiainya ke sawah dan ke pasar. Antara lain Kiai Ahyat Halimi dari Mojokerto dan Kiai Muchtar Syafaat dari Banyuwangi.
Namun limpahan kekayaan tak membuat Kiai Hasyim lupa diri dan hidup mewah. Ia justru meneladani kehidupan Rasulullah yang amat sederhana. Kendati mampu, ia tak mau membangun rumah megah. Kediaman beliau bahkan tak mencerminkan rumah seorang kiai besar karena cuma berdinding bambu dan berlantai semen.

Di dalam rumah beliau tak ada perabotan mahal, satu-satunya yang tergolong mewah adalah ratusan judul kitab yang menjadi bahan telaah beliau tiap hari. Untuk merawat kitab-kitabnya yang mahal itu, sebulan sekali dijemurnya. Dalam merawat kitab ia dibantu para santri di antaranya Kiai Abu Syuja’ dari Kediri dan Kiai Achmad Siddiq dari Jember.
Kiai Hasyim sangat konsisten dengan pola hidup sederhana dan selalu menekankan hal itu kepada anak cucunya. Iming-iming jabatan dan harta yang disodorkan pemerintah penjajah baik Belanda maupun Jepang ditolaknya karena ia tak ingin menjadi antek kolonialisme yang menyesatkan rakyat. Termasuk anugerah emas dari Ratu Belanda, Wilhelmina, yang hendak diberikan kepadanya pada 1937.
Memang, ia pernah menerima jabatan sebagai Ketua Djawa Hokookai (Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa) dan Ketua Shumubu-co (Kantor Urusan Agama) untuk seluruh kemaslahatan masyarakat banyak, khususnya umat Islam. Namun dalam pelaksanaan sehari-hari ia menunjuk putranya, Kiai Abdul Wahid Hasyim, yang ketika itu sudah tampil sebagai kader penerus yang potensial.

Istiqomah


Berkat didikan kakek dan ayahnya di masa kecil serta bimbingan para gurunya di masa remaja, Hasyim tumbuh dewasa dengan iman yang teguh, jiwa yang matang, ilmu yang luas dan watak yang santun.

Salah satu sikap yang menonjol dalam kepribadiannya ialah istiqomah. Ia amat konsisten dalam memegang prinsip terutama jika sudah manyangkut pendirian yang ia yakini kebenarannya. Namun ia juga sangat toleran. Seperti diungkapkan sahabatnya yang menjadi salah seorang ulama Al Azhar di Kairo, Syeikh Rabbah Hasunah, Kiai Hasyim justru tokoh yang amat toleran. Ia tak pernah memaksakan kehendak kepada orang lain. Pendapat yang ia sodorkan selalu didukung argumentasi rasional yang mudah diterima lawan bicara. Itu sebabnya banyak dari umat beragama lain yang secara tulus memeluk Islam, setelah berdiskusi dengannya dan yakin akan kebenaran ajaran Islam. Salah satunya adalah Karl von Smith, seorang insinyur berkebangsaan Jerman yang ketika itu bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Karl von Smith pulang ke Jerman dan menyebarkan Islam di negaranya melalui Islamic Centre di Hamburg.

Sabar


Sifat lain yang menonjol pada diri Kiai Hasyim adalah sabar. Sifat ini lahir berkat tempaan kesulitan dan musibah yang kerap dialami sejak kecil. Kesabarannya teruji setelah menikah dan mengalami musibah dengan meninggalnya dua isteri dan beberapa anak tercinta. Kiai Hasyim menghadapi dengan tabah dan menyerahkan semuanya kepada takdir Allah.
Tak berbeda ketika ia merintis berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng yang semula dikenal sebagai daerah kriminal. Tantangan dan gangguan datang silih berganti, namun semuanya dihadapi dengan penuh ketabahan yang akhirnya membuahkan keberhasilan.

Begitupun saat berjuang melawan penjajah, Kiai Hasyim menunjukkan kesabaran luar biasa. Pada tahuan 1942, beliau ditangkap pemerintah militer Jepang dengan tuduhan menggerakkan aksi perlawanan rakyat terhadap Jepang di Indonesia.
Ia ditahan di Mojokerto lalu dipindahkan ke Bubutan, Surabaya. Sebagai tanda cinta dan khidmat kepada guru, sejumlah santri meminta ikut dipenjarakan bersama sang guru. Kiai Hasyim mendekam di penjara lebih enam bulan dan diperlakukan tidak manusiawi. Akibatnya salah satu tangan beliau menderita cacat yang cukup menyedihkan.

Sifat Kiai Hasyim yang menonjol adalah kejujuran dan keikhlasan, tak punya pamrih duniawi. Itu sebabnya nasihat dan fatwanya mudah diterima orang lain. Tak sedikit tokoh besar yang sengaja datang ke Tebuireng untuk meminta saran dan petunjuknya. Di antaranya, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Soetomo alias Bung Tomo, pemimpin pemberontak arek-arek Suroboyo yang sangat heroik itu. Bahkan ketika diadakan pertemuan antara pembesar Negara dengan para alim ulama Jawa Timur di Kediri, Presiden Soekarno sangat memperhatikan dan memuji pesan-pesan moral yang diberikan Kiai Hasyim pada forum tersebut.

Sehari-hari


Sejak remaja Kiai Hasyim dikenal sebagai anak muda yang berpandangan religius dan berorientasi ukhrowi. Ia terbiasa melakukan olah batin dengan berpuasa guna mencegah godaan hawa nafsu. Kebiasaan itu ia warisi dari ibundanya, Nyai Halimah. Sekalipun tak berpuasa, ia jarang makan. Paling banyak dua kali sehari yakni sarapan dengan secangkir kopi susu serta makan malam usai mengajar.
Beliau memanfaatkan seluruh waktu dengan baik: mencari nafkah, mengajar santri, menerima tamu dan terutama melaksanakan ibadah. Nyaris tak ada waktu terbuang.

Usai shalat subuh berjamaah diikuti wirid yang sangat panjang lalu mengajar para santri di serambi masjid hingga menjelang matahari terbit. Kitab yang dibacanya cukup beragam antara lain kitab Asy Syifa dan At Tahrir.
Sesudah itu Kiai Hasyim menemui para tukang dan kuli sambil memberi petunjuk mengenai tugas-tugas yang harus mereka kerjakan pada hari itu. Hingga pukul 10.00 ia mengajar kitab-kitab besar seperti Al Muhadzdzab dan Al Muwaththo’ yang dikhususkan untuk para santri senior.

Selepas mengajar ia punya sedikit waktu yang dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti menemui tamu, membaca kitab atau menulis karangan. Sebelum jamaah salah dhuhur, ia kadang tidur sebentar. Usai berjamaah, ia mengajar di serambi masjid hingga menjelang waktu asar. Kegiatan dilanjutkan dengan menerima laporan dan memeriksa pekerjaan para tukang dan kuli. Sesudah itu mandi dan kembali ke masjid untuk berjamaah shalat asar, disusul dengan mengajar di masjid. Pelajaran selepas asar adalah kitab Fath Al Qorib yang wajib diikuti semua santri. Hingga akhir hayatnya, kitab ini tetap dibaca sebagai wirid sehabis asar.

Sambil menunggu bedug maghrib, Kiai Hasyim mengisi waktu dengan membaca kitab yang hendak ia ajarkan. Setelah berjamaah maghrib, ia secara khusus menyediakan waktu untuk para tamu yang datang dari jauh, terutama wali santri. Kegiatan ini berlangsung hingga masuk waktu shalat isya’. Usai shalat isya’ ia mengajar di masjid hingga pukul 23.00. Kitab yang diajarkan di waktu malam adalah Ihya Ulum Ad Din dan Tafsir Ibnu Katsir. Setelah itu, barulah Kiai Hasyim makan malam.
Setiap minggu, kegiatan rutin harian itu hanya libur dua kali yakni Selasa dan Jum’at. Dua hari itu digunakan untuk memeriksa garapan di sawah atau dagangan di pasar. Untuk hari Jumat, ia memiliki kegiatan khusus yakni memperbanyak bacaan Al Quran dan shalawat Nabi. Usai menjadi khatib dan imam Shalat Jumat, secara rutin ia memberikan pengajian umum. Kitab yang dibaca adalah Tafsir Al Jalalain. Ia mengakhiri kegiatan harian dengan beranjak tidur menjelang tengah malam. Itu pun tak lama, karena menjelang subuh sudah bangun.

Pergaulan Luas


Kiai Hasyim adalah tokoh yang memiliki hubungan luas yang melintasi batas-batas negara hingga menembus belahan dunia lain. Ini terjalin sejak ia belajar di tanah suci Mekkah.

Di antara para sahabatnya itu tercatat antara lain: Sayyid Sholeh Syatha, Syeikh Thoyyib Al Sasi, Syeikh Bakr Shobbagh, Sayyid Sholeh bin Alwi bin Uqail, Syeikh Abdul Hamid Quds, Syeikh Muhammad Fathoni, Syeikh Muhammad Said Abdul Khoir, Syeikh Abdullah Hamduh, Sayyid Idrus Al Bar, Sayyid Alwi Al Maliki dan Sayyid Muhammad Thohir Ad Dabbagh.

Dari kalangan pejuang dan negarawan tercatat nama Pangeran Abdul Karim Al Koththobi, tokoh revolusi kemerdekaan Maroko yang melawan penjajah Perancis dan Spanyol, juga dengan Sultan Pasya Al Athrasy, pemimpin Suriah yang bangkit menentang kolonial Prancis. Ketika pada tahun1924 kedua tokoh itu mengobarkan jihad, serta merta Kiai Hasyim mendukung. Guna menggalang solidaritas kaum muslimin Indonesia terhadap perjuangan saudara-saudara mereka melawan kolonialisme asing, demonstrasi besar, rapat umum dan arak-arakan raksasa digelar di berbagai kota dan ia selalu hadir memberikan dukungan moral. Upaya ini dihambat penjajah Belanda yang takut kalau gerakan tersebut membangkitkan aksi perlawanan di Indonesia.

Selain itu, Kiai Hasyim menjalin hubungan erat dengan Sayyid Muhammad Amin Al Husaini, Ketua Kongres Islam se dunia asal Palestina yang kemudian menetap di Berlin, Jerman. Juga dengan Sayyid Dliyauddin Asy Syairozi, serta Muhammad Ali dan Syaukat Ali, ketiganya tokoh Islam India yang berjuang melawan Inggris. Tak kalah eratnya hubungan Kiai Hasyim dengan Muhammad Ali Jinnah, Bapak Kemerdekaan Pakistan. Lalu Sayyid Hibbatuddin, mantan Menteri Pendidikan Irak, dan Sayyid Alwi bin Thohir Al Haddad, mufti kerajaan Johor Malaysia. Tak ketinggalan Syeikh Ahmad Az Zein, pemilik dan pendiri majalah Al Irfan dan koran Jabal ‘Amil.
Kiai Hasyim juga akrab dengan sejumlah ulama, filsuf dan budayawan kaliber internasional. Misalnya budayawan Mesir terkemuka Amir Syakib Arsalan, filsuf Pakistan Muhammad Iqbal, kritikus Iran Sayyid Masdi Asy Syairozi dan penulis kitab produktif Syeikh Muhammad Husein Ali Kasyif Al Ghitho’. Hampir seluruh guru besar di Universitas Al Azhar Kairo juga beliau kenal dengan baik. Antara lain Syeikh Yusuf Ad Djawawi dan Syeikh Ahmad Saad Ali. Kedua tokoh yang dikenal sebagai penyunting handal untuk kitab-kitab terbitan Kairo itu, bahkan ikut memberi pengantar pada salah satu kitab yang ia karang.

Reputasi Kiai Hasyim sebagai ulama dan pejuang dikenal luas di dunia Islam. Itu sebabnya, tak sedikit organisasi sosial maupun lembaga ilmiah dalam dan luar negeri yang mengangkatnya sebagai ketua kehormatan. Salah satunya adalah Jam’iyyah Asy Syubhan Al Muslimin (Organisasi Pemuda Islam) yang berpusat di Kairo, Mesir.

Tentunya relasinya dengan tokoh-tokoh di tanah air lebih luas lagi. Kiai Hasyim akrab dengan para tokoh pergerakan nasional, misalnya Presiden Soekarno, Panglima Besar Soedirman dan sejumlah Perdana Menteri. Beliau juga berhubungan baik dengan para pemimpin puncak organisasi Islam, antara lain KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah


 yang pernah belajar bersama beliau di tanah suci, HOS Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Syarikat Islam dan Syeikh Ahmad Surkati, tokoh puncak organisasi Al Irsyad.

Hubungan Kiai Hasyim dengan ulama besar di lingkungan Nahdlatul Ulama juga terjalin sangat baik, misalnya KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, KH Alwi Abdul Aziz, pengusul nama NU, keduanya dari Surabaya. Lalu KH Asnawai Kudus, KH Abdul Halim Cirebon, KH Abdul Karim dan KH Ma’ruf dari Kediri serta Syeikh Ahmad Ghonaim Al Mishri.
Setiap Ramadhan tiba, ratusan kiai dari penjuru tanah air datang ke Tebuireng untuk mengikuti pengajian Kiai Hasyim. Selama bulan suci itu, secara khusus Kiai Hasyim menggelar pengajian kitab Shohih Al Bukhori dan Shohih Muslim, dua kitab hadits rujukan utama setelah kitab suci Al Quran. Meski para kiai itu sudah tergolong alim di bidang masing-masing, mereka sengaja datang untuk mengambil sanad (mata rantai) yang bakal menghubungkan mereka dengan Rasulullah. Selain itu mereka juga ingin mendapat berkah dari ilmu Kiai Hasyim.
Persahabatan Kiai Hasyim dengan banyak tokoh, sama sekali tidak mengurangi perhatiannya terhadap masyarakat biasa, terutama tetangga sekeliling. Hubungannya dengan penduduk Tebuireng, tak ubahnya ayah dan anak. Ia jadi tempat pelarian untuk minta pertolongan dan hampir tak ada yang pulang dengan tangan hampa.

Konon ketika isterinya yang ketujuh masih hidup, setiap hari sang kiai menyediakan nasi dan lauk pauk untuk menghormati sekurang-kurangnya 50 orang tamu. Ini membuktikan betapa banyak tamu beliau, sekaligus menunjukkan luasnya hubungan beliau dengan berbagai kalangan.

Perjuangan


Sebagai ulama besar, Kiai Hasyim dikenal memiliki pemikiran brilian yang meliputi banyak bidang mulai dari agama, pendidikan, sosial hingga politik. Percikan pemikirannya tertuang dalam teks-teks khuthbah iftitah (pidato pengarahan) yang dikemukakan di forum muktamar NU dalam kapasitas sebagai Rois al-Akbar. Polemik dan korespondensinya dengan sejumlah tokoh. Fatwa dan tulisannya dimuat di dua majalah: Soeara Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama.

Pemikiran Kiai Hasyim di bidang agama cenderung puritan. Sebagai tokoh ulama beraliran Sunni, rujukannya tak lepas dari kitab Allah dan Sunah Rasul. Dalam pandangannya, agama harus diamalkan secara murni sesuai tuntunan Nabi.
Menurut Kiai Hasyim, puncak keberagamaan dan jenjang kerohanian tertinggi hanya dapat dicapai melalui proses pentahapan yang urut dari syariat, tarekat hingga hakekat. Karena ketiganya saling berkait, maka ketika seseorang mencapai hakikat bukan berarti syariatnya gugur. Itu sebabnya ia mengecam anggapan yang menyatakan bahwa bila sudah menjadi wali, mereka tak perlu lagi menjalankan syariat seperti, shalat, puasa dan sebagainya.

Di bidang pendidikan, ia menulis kitab standar mengenai etika kesantrian berjudul Adab al-‘Alim wa al- Muta’allim. Kitab ini merupakan adaptasi dari karya Ibnu Jamaah Al Kinani yang bertajuk Tadzkirot as Sai’wa a- Mutakallim.

Wanita


Berbeda dengan pandangan yang berkembang luas di masyarakat Jawa yang menganggap kaum wanita sekadar konco wingking dan tak memerlukan pendidikan, Kiai Hasyim justru memandang pendidikan bagi mereka sangat penting. Sebab merekalah yang oleh Nabi disebut sebagai ‘imad al bilad (tiang negara) yang mesti dilibatkan secara aktif dalam mempersiapkan generasi penerus. Pemikiran yang dilontarkan di forum muktamar NU ini akhirnya disepakati mayoritas ulama. Ketika keputusan itu digugat sebagian kiai, beliau menjawab dengan argumen amat rasional disertai fakta historis, sebagaimana bisa dibaca dalam karya beliau berjudul Ziyadah Ta’liqat.
Sejak itu muncul sejumlah pondok pesantren yang secara khusus didirikan untuk anak dan remaja puteri. Misalnya, Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang yang dirintis KH. Bishri Syansuri.

Sebagai bukti kepeduliannya terhadap pendidikan kaum wanita, Kiai Hasyim mendidik sendiri putrinya Khoiriah. Setelah suaminya, Kiai Ma’shum Ali yang terkenal sebagai pakar ilmu falak (astronomi) dan ilmu shorof (sintaksis) wafat, Khoiriah menikah lagi dengan Kiai Abdul Muhaimin dan mengikuti suami barunya bermukim di Mekkah. Atas izin Kiai Hasyim, Khoriah lalu mendirikan sekolah khusus kaum wanita yang dinamakan Madrasah al-Banat di Mekkah. Ini merupakan langkah pendobrakan terhadap tradisi Arab yang menabukan sekolah bagi kaum hawa. Tak heran bila sekolah itu sempat terkenal dan banyak kaum wanita dari keluarga Kerajaan Arab Saudi yang masuk menjadi muridnya.

Sosial Politik


Di bidang sosial politik, perhatian Kiai Hasyim terfokus pada pembinaan ukhuwah Islamiyah guna mempersatukan umat dan menggalang potensi agar bisa dioptimalkan untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Kiai Hasyim amat prihatin dengan gejala perpecahan umat Islam, apalagi jika terjadi saling mengkafirkan satu sama lain. Pandangan beliau mengenai hal ini dituangkan dalam risalahnya yang berjudul At Tibyan.

Selain itu, ketika muncul pertentangan sesama tokoh Islam akibat perbedaan pendapat tentang madzab, ia menulis surat terbuka bertajuk Al Mawa’izh yang dibacakan pada Muktamar NU ke XI tahun 1935 di Banjarmasin, lalu disebarkan kepada seluruh ulama di Indonesia. Isinya merupakan anjuran ishlah, meninggalkan fanatisme buta dan mengesampingkan perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak prinsip guna menghindari perpecahan yang merugikan umat Islam sendiri. Menurut Kiai Hasyim, jika umat Islam pecah maka yang diuntungkan adalah orang lain, terutama kaum penjajah yang ingin menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
Terkesan oleh isi surat tersebut, maka pada tahun 1959, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia untuk disebarluaskan melalui majalah Panji Masyarakat.

Perjuangan

Di kancah perjuangan, Kiai Hasyim adalah tokoh yang penuh dedikasi, baik untuk agama maupun negara. Di bidang pendidikan, perjuangannya diawali sejak pulang dari tanah suci Mekkah dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuhnya hinggga wafat. Sejak didirikan, lembaga ini terus tumbuh dan menjadi inovator bagi pembaruan pendidikan Islam tradisional di tanah air. Misalnya dengan menerapkan sistem madrasi (pembelajaran dengan sistem persekolahan) yang semula tak dikenal di lingkungan pondok pesantren salaf (tradisional).
Kiai Hasyim juga membantu para santri yang setelah menamatkan pelajarannya di Tebuireng bermaksud mendirikan pondok sendiri. Misalnya, ketika Kiai Jazuli Utsman mendirikan pondok pesantren di Ploso Kediri, ia mengirimkan sejumlah santri untuk belajar ke Tebuireng. Beliau pula yang memberi nama Al-Falah untuk pondok Kiai Jazuli yang baru itu. Tak terhitung jumlah pondok pesantren dan madrasah yang pernah dibantunya, baik moril maupun materil.

Di arena kemasyarakatan, perjuangan Kiai Hasyim tak perlu diragukan. Ia menggugah masyarakat supaya menyadari hak-hak politik mereka untuk hidup merdeka dan bebas dari penjajahan. Menurutnya, kolonialisme asing hanya bisa dilawan dengan gerakan kebangkitan nasional. Untuk menunjang gerakan tersebut, bersama sejumlah kiai, ia mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926.

Berkat kharisma dan ilmunya, Kiai Hasyim disepakati menjadi Roisul Akbar NU. Dialah satu-satunya tokoh yang menyandang gelar kehormatan ini, karena para tokoh selanjutnya tak satu pun berkenan menyandangnya.

Ekomomi

Beberapa murid Kiai Hasyim menuturkan, gurunya tak cuma membangkitkan kesadaran politik umat Islam, tetapi juga mengupayakan pemberdayaan ekonomi. Melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan, maka pada 1918, Kiai Hasyim merintis kerjasama para pelaku ekonomi pedesaan yang disebut Syirkah Al ’Inan li Murohathoh Ahli At Tujjar. Bentuk usahanya mirip koperasi namun dasar operasionalnya menggunakan syariat Islam. Badan usaha ini kemudian berkembang dengan lahirnya Nahdlatut Tujjar sebagai wadah para pengusaha Islam, khususnya kalangan santri.

Resolusi Jihad

Tak kalah pentingnya adalah peran Kiai Hasyim dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Berkat pengaruh dan kharismanya yang besar, ia berhasil menghimpun kekuatan umat Islam melalui jaringan pondok pesantren dan NU.

Kiai Hasyim makin gigih berjuang justru di usia senja. Saat Belanda menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan darurat perang dan merencanakan Ordonansi Milisi Bumi Putera pada tahun 1940, Kiai Hasyim memanggil beberapa kiai ke Tebuireng. Melalui musyawarah akhirnya ia memutuskan menolak rencana tersebut. Bahkan diharamkan menyumbangkan darah untuk mereka. Musyawarah itu menyepakati tuntutan Indonesia Berparlemen yang disuarakan melalui MIAI dan Gapi (Gabungan Politik Indonesia).
Perjuangan Kiai Hasyim berlanjut di zaman Jepang. Ia menolak segala Nipponisasi, seperti menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru. Apalagi kewajiban seikeirei (menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika, yang dianggap titisan Dewa Amaterasu Omikami) dengan membungkukkan badan 90 derajat ke arah Tokyo), yang menurut Kiai Hasyim haram hukumnya. Akibat penolakan ini, ia harus mendekam di penjara selama enam bulan dan diperlakukan secara tidak manusiawi sehingga tangannya cacat akibat siksaan tentara Jepang.

Dalam upaya menyiapkan kader-kader Islam yang militan untuk mempertahankan tanah air sewaktu-waktu diperlukan, Kiai Hasyim menganjurkan para santri memasuki tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, dipelopori puteranya Abdul Hafidz alias Abdul Kholiq yang kemudian diangkat menjadi daidanco (komandan batalion). Pembentukan PETA diikuti pembentukan milisi Islam sukarela yang disebut Hizbullah pada akhir 1944 lalu disusul dengan terbentuknya laskar jihad lain yang terkenal dengan sebutan Barisan Sabilillah.

Perjuangan Kiai Hasyim berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan 17 Agustus 1945. Saat tentara NICA mendompleng pasukan Sekutu, hendak memaksakan kembalinya kekuasaan Belanda, Kiai Hasyim mengundang seluruh konsul NU se Jawa dan Madura. Hasil musyawarah, Kiai Hasyim mengeluarkan seruan yang kemudian dikenal dengan sebutan “Resolusi Jihad”. Isinya: kemerdekaan yang sudah diproklamasikan dan pemerintah RI sah, hukumnya wajib dibela dan dipertahankan. Selanjutnya, umat Islam Indonesia, khususnya warga NU, wajib hukumnya mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang akan kembali menjajah. Kewajiban ini adalah jihad yang bersifat fardlu ’ain, dalam arti berlaku bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berada dalam radius 94 kilometer dari tempat musuh. Yang di luar radius itu wajib membantu segala sesuatu yang diperlukan dalam perjuangan.
     “Resolusi Jihad” inilah yang membakar semangat umat Islam untuk bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa heroik 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan, tak bisa dilepaskan dari semangat “Resolusi Jihad” yang dicetuskan di markas NU, Bubutan Surabaya.


Detik-detik Terakhir


Detik-detik terakhir kehidupan Kiai Hasyim terjadi pada malam tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947. Sehabis mengimami shalat tarawih ibu-ibu muslimat, seperti biasanya, ia memberikan pengajian kepada mereka.

Baru saja akan dimulai, Muhammad Yusuf Masyhar, memberitahukan datangnya dua orang tamu utusan Panglima Soedirman dan Bung Tomo. Karena hal itu dipandang lebih penting, beliau menunda pengajian.
Kiai Hasyim meminta adik perempuannya menyiapkan teh dan kue lantas menemui tamu di ruang depan. Setelah berbasa-basi sejenak, Kiai Ghufron, salah seorang komandan Barisan Sabilillah Surabaya yang menyertai kedua tamu tersebut, menjelaskan bahwa maksud kedatangan mereka adalah untuk menyerahkan sepucuk surat dari Bung Tomo. Saat itu, masuklah Kiai Adlan Ali, suami keponakannya yang sering diajak musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah penting. Tak lama kemudian Kian Adlan berpamitan karena ada suatu urusan.
Surat Bung Tomo ternyata berisi permohonan agar Kiai Hasyim mengomandokan jihad kepada seluruh umat Islam untuk melawan Belanda. Lantaran pentingnya hal itu, ia minta waktu semalam untuk berpikir. Kebiasaan Kiai Hasyim setiap menghadapi masalah rumit adalah malaksanakan shalat istikhoroh (memohon petunjuk kepada Allah) lebih dulu sebelum mengambil keputusan.
Sementara di depannya, Kiai Ghufron menceritakan serangan tentara Belanda yang berhasil merebut daerah-daerah strategis dan memakan banyak korban penduduk sipil. Selain itu, dikabarkan pula tentang jatuhnya markas tertinggi laskar Hizbullah-Sabilillah di Singosari, Malang. Kabar ini rupanya mengejutkannya, sehingga tiba-tiba Kiai Hasyim berkata: “Masyallah….! Masyaallah…!” sambil menekan kepala kuat-kuat.


 Kiai Hasyim pingsan dalam keadaan duduk. Tangannya berpegangan pada tepi balai-balai tempat beliau biasa beristirahat. Semula, Kiai Ghufron menyangka gurunya tak dapat menahan kantuk lantaran terlalu letih. Kiai Ghufron menganjurkan kedua tamu tadi supaya pulang dulu, karena Kiai Hasyim amat lelah. Keduanya setuju. Berungkali Kiai Ghufron memberitahu bahwa kedua utusan Bung Tomo itu hendak pamit, namun Kiai Hasyim tak menjawab. Ia cuma mengulurkan tangan untuk dijabat.

Sepeninggal para tamu, Kiai Ghufron memperhatikan Kiai Hasyim secara seksama. Ternyata, sang guru sudah tak sadarkan diri. Tergopoh-gopoh Kiai Ghufron memeluknya. Dengan bantuan Yusuf Masyhar, Kiai Hasyim dibaringkan di tempat tidur. Rupanya, secara mendadak ia terserang hersenbloeding (pendarahan otak).

Seluruh keluarga datang mengerumuni. Semua putranya yang berada di medan tempur atau di luar kota segera dihubungi. Menjelang tengah malam, Dokter Mas Angka Nitisastra dari RS Jombang tiba. Setelah memeriksa dengan teliti, dokter menegaskan keadaan Kiai Hasyim sudah kritis. Atas persetujuan keluarga, dokter mengambil darah beliau agar tak terlalu menderita. Meskipun setelah itu rasa sakitnya berkurang tetapi raut wajah Kiai Hasyim tak memperlihatkan harapan hidup.

Akhirnya, tepat pukul 03.45 dini hari, dengan tenang Kiai Hasyim menghembuskan nafas terakhir untuk memenuhi panggilan Allah. Sebagian besar keluarga yang menunggui beliau larut dalam tangis duka. Dua orang putranya yang bertugas di luar kota, tak sempat menyaksikan saat-saat akhir beliau karena baru tiba menjelang pemakaman.

Berita wafatnya Kiai Hasyim segera menyebar ke seluruh penjuru tanah air dan mengundang duka cita yang mendalam dari segenap lapisan masyarakat. Ribuan orang berdatangan ke Tebuireng untuk ikut mengantar jenazah kiai besar itu ke tempat peristirahatan terakhir, termasuk para ulama dan petinggi sipil maupun militer. Tak ketinggalan para pemimpin puncak dari sejumlah partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Ia dimakamkan di belakang masjid di kompleks pondok pesantren yang didirikannya, Tebuireng.

Demikian, Kiai Hasyim telah pergi meninggalkan umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, untuk selama-lamanya. Ulama besar itu pergi setelah menunaikan tugas dan baktinya untuk kepentingan agama dan umat dengan penuh keikhlasan.


sumber : 
-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Jombang
-Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono
-Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
             

Comments