Biografi KH Wahab Hasbullah


Tokoh Pendiri NU


     Nama KH Wahab Hasbullah amatlah terkenal dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia modern. Kiai kharismatik ini adalah tokoh yang bersama KH Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, yang kini menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.


Sebagai seorang kiai, ia juga dikenal sebagai pengembang Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU), yang didirikan KH Abdus Salam, seorang keturunan Raja Majapahit, pada tahun 1838 M di Desa Tambakberas, 5 km arah utara kota Jombang Jawa Timur. Kiai Wahab sendiri adalah cicit Kiai Abdus Salam.

Banyak cerita yang mengisahkan secara kronologis bahwa KH. Abdus Salam seorang keturunan ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker. Dalam kisah tersebut, Kiai Abdus Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk bersembunyi menghindari kejaran tentara Belanda. Bersama pengikutnya, ia membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushallah) dan tempat pondokan sementara buat 25 orang pengikutnya. Karena itu pondok pesantren itu juga dikenal pondok selawe (dua puluh lima).
Perkembangan pondok pesantren ini mulai menonjol saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH Wahab Hasbullah, sang cicit. Setelah kembali dari belajar di Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi pondok pesantren. Pertama kali yang didirikan adalah madrasah yang diberi nama Madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon yang kemudian dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya pada tahun 1926.

Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri NU ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971.

Sepeninggal KH Wahab Hasbullah, pondok Bahrul Ulum mengalami perubahan. Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim. Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. Sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab.

Di bawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin membludaknya santri yang belajar di pondok pesantren yang telah banyak menghasilkan ulama dan politisi ini. KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI keempat juga alumni pesantren yang sering kedatangan tamu dari pemerintah pusat ini. Santri yang belajar di PPBU tidak hanya datang dari daerah Jombang tapi juga dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga dari Brunei Darussalam dan Malaysia. Bahkan, pada tahun 2006, PPBU dihuni hampir 10.000 santri.

Sesepuh Ansor


Dalam sejarah NU, KH Wahab Hasbullah juga amat terkait dengan kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), yang diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. Kiai Wahab adalah “sesepuh pendiri” organisasi itu. Seperti diketahui, GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda.

Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi “konflik” internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Wahab Hasbullah yang berhaluan tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemimpinan Islam bersatu.
Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH Wahab Hasbullah – yang kemudian menjadi pendiri NU – membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Nama Ansor merupakan saran KH Abdul Wahab – ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakin sebagai penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen awal yang harus dipegang teguh setiap anggota ANO (GP Ansor).
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO dengan NU saat itu masih bersifat hubungan pribadi antar tokoh. Baru pada muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934 M, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).

Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang Malang mengembangkan organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut BANSER (Barisan Serbaguna). Di Kongres II ANO di Malang tahun 1937, Banoe menunjukkan kebolehan pertama kalinya dalam baris berbaris dengan mengenakan seragam yang dikomandani oleh ketua ANO Cabang Malang Moh. Syamsul Islam. Sedangkan instruktur umum adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh yang namanya tetap dikenang dan bahkan diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota Malang.
Salah satu keputusan penting Kongres II ANO di Malang tersebut adalah didirikannya Banoe di tiap cabang ANO. Selain itu, kongres ini juga menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama yang menyangkut soal Banoe.

Pada masa pendudukan Jepang organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945-1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH. Wahid Hasyim – Menteri Agama RIS kala itu, sehingga pada tanggal 14 Desember 1949 lahir kesepakatan untuk membangun kembali ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih populer disingkat GP Ansor).
GP Ansor hingga saat ini telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi organisasi kemasyarakatan pemuda di Indonesia yang memiliki watak kepemudaan, kerakyatan, keislaman dan kebangsaan. GP Ansor hingga saat ini telah memiliki 433 Cabang (Tingkat Kabupaten/Kota) di bawah koordinasi 32 Pengurus Wilayah (Tingkat Provinsi) hingga ke tingkat desa. Ditambah dengan kemampuannya mengelola keanggotaan khusus BANSER (Barisan Ansor Serbaguna) yang memiliki kualitas dan kekuatan tersendiri di tengah masyarakat.
Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalanan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang strategis dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional.


sumber : 
-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Jombang
-Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono
-Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Comments