Biografi Prof Dr Nurcholish Madjid
Cendekiawan Muslim
“Kita lebih bersatu daripada berketuhanan, daripada bermusyawarah dan
daripada berkeadilan sosial. Agama
memang suprarasional tetapi tidak bertentangan dengan rasio. Hanya berada pada
tingkat yang lebih tinggi. Agama yang tidak bisa bertahan hidup terhadap ilmu
dan teknologi, bukan agama lagi.”
Kata-kata tersebut disampaikan
oleh Prof Dr Nurcholish Madjid, yang kesohor sebagai cendikiawan muslim
terkemuka. Seorang tokoh yang juga dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di
Indonesia.
Isu pembaharuan Islam ke arah
yang lebih modern memang sudah bergulir sejak lama. Sejarah mengenal nama KH
Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari sebagai tokoh-tokoh yang concerned terhadap konsep reformasi
dalam Islam. Penerus gelombang modernisasi Islam saat ini tentu tidak bisa
lepas dari sosok Nurcholish Madjid. Beranjak dari keyakinan bahwa tidak ada
yang sakral kecuali Allah, lahirlah mottonya yang sangat terkenal: “Islam Yes,
Partai Islam No.”
Nurcholish Madjid lahir di
Jombang, Jatim, 17 Maret 1939. Cemerlang, itulah predikat untuk Nurcholish
kecil. Pelajaran ilmu alam dan matematika yang menjadi mimpi buruk bagi
sebagian besar anak, dapat ia menangkan dengan nilai 9. Haji Abdul Madjid,
pemilik dan guru Madrasah Al Wathaniah, Jombang menjadi serba salah karena
harus menyerahkan hadiah juara kelas berulang kali kepada anaknya sendiri:
Nurcholish Madjid.
Cita-citanya dulu adalah menjadi masinis kereta
api. Tetapi tahun-tahun berikutnya Cak Nur semakin eksis sebagai pemegang
kemudi pembaharuan Islam. Sewaktu belajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur tercatat pernah menjadi ketua
Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode berturut-turut antara
1966 hingga 1971. Selama aktif di HMI ia menyarankan pembaharuan pemikiran
Islam yang mengundang polemik luas.
Ia berpendapat bahwa fikih,
akidah, akhlak dan tasawuf yang ada sudah tidak memadai dan relevan lagi bagi
umat Islam di zaman modern ini. Pada 1984, Cak Nur berhasil memboyong gelar
doktor filsafat Islam dari University of
Chicago dengan judul disertasi Ibn
Taimmiyya on Kalam and Falsafa.
Terjun di pentas politik yang
sesungguhnya, Cak Nur mulai menggebrak dengan pemikiran-pemikirannya tentang
sekularisasi – tidak mencoblos partai Islam bukan berarti bukan Islam – atau
tentang negara Islam, Pancasila sebagai ideologi terbuka juga tentang toleransi
beragama. Ayah dua anak dan suami Omi Komariyah itu juga menjadi tokoh di balik
layar turunnya Soeharto.
Soeharto yang ditekan dari segala
penjuru oleh berbagai pihak akhirnya mutung
(patah arang) ketika Cak Nur menolak menjadi anggota Komite Reformasi. “Ketika
Pak Quraish Shihab (ketika itu menteri agama) mengatakan saya bersedia, Pak
Harto pun berkata, “Saya tampaknya tidak dipercaya. Cak Nur yang moderat saja
tidak mau menjadi anggota, apalagi yang lain. Kalau sudah begitu, saya mundur
saja,” begitulah penuturan Cak Nur.
Nurcholish boleh dibilang Guru
Bangsa. Hampir semua pejabat atau tokoh masyarakat selalu bertanya kepada Cak
Nur jika menghadapi persoalan yang pelik. Bahkan mantan Presiden Soeharto yang
terkenal sebagai orang kuat selama tiga dasawarsa masa kekuasaannya, pada
akhirnya hanya bisa menurut ketika Cak Nur mengatakan, “Pak Harto, sampai
sekarang rakyat itu tidak mengerti reformasi kecuali Anda turun.”
Pulangnya
Sang Ikon
Nurcholish Madjid memang ikon
pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, bangsa
ini sungguh kehilangan ketika sang ikon itu menghembuskan nafas terakhirnya
pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI),
Jakarta Selatan. Ia meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya.
Cak Nur menghembuskan nafas terakhir di hadapan
istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya
David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat,
stafnya Nizar, keponakan dan adiknya.
Cak Nur dirawat di RS Pondok
Indah mulai 15 Agustus 2005 karena mengalami gangguan pada pencernaan. Pada 23
Juli 2004 dia menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Provinsi
Guangdong China.
Jenazah Rektor Universitas
Paramadina itu disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina di Jalan Gatot
Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra Utama itu
diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah
dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama Maftuh Basyuni, untuk
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Selasa, 30 Agustus 2005
pukul 10.00 WIB. Sementara, acara pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata
dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab.
Sejumlah tokoh datang melayat dan
melakukan salah jenazah. Di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil
Presiden Jusuf Kalla, Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif,
Siswono Yudo Husodo, Rosyad Sholeh, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PP
Muhammadiyah Din Syamsuddin, Azyumardi Azra, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung,
Ketua Panitia Ad Hoc II DPD Sarwono Kusumatmadja, Wakil Ketua DPD Irman Gusman,
Agung Laksono.
Juga melayat Pendeta Nathan
Setiabudi, Kwik Kian Gie, dan banyak lagi. Sementara pernyataan dukacita
mengalir antara lain dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi
Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Presidium Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis
Indonesia, keluarga besar solidaritas Tanpa Batas (Solidamor), dan lain-lain.
Gagasan Cak Nur tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia
menganggap penting pluralisme, karena ia menyakini bahwa pluralisme adalah
bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan.
Dia mengembangkan pemikiran
mengenai pluralisme dalam bingkai civil
society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban,
pluralisme adalah inti dari nilai peradaban itu, termasuk di dalamnya penegakan
hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
Nama Cak Nur sempat mencuat
sebagai salah seorang kandidat calon presiden Pemilu 2004. Namun akhirnya ia
mengundurkan diri dari proses pencalonan melalui Konvensi Partai Golkar.
Belakangan dia sakit dan sempat beberapa lama dirawat di Singapura.
Meskipun cita-citanya menjadi
masinis kereta api tidak kesampaian, Cak Nur toh diakui berhasil menjadi
masinis lokomotif politik. Prestasinya itu wajar. Nurcholish muda hidup di
tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin
uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai
Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat
terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri,
ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu,
keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, berbicara soal-soal politik.”
Utomo kerap dituding sebagai
salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas
tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak
Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk
memahami, membaca, dan melihat politik.”
Kesadaran politik Nurcholish muda
terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu.
Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam
Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus
pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik.
Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,”
kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.
Politik praktis mulai dikenal
Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta.
Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar
HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup
komplit. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus
semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata
Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin, Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Kendati memimpin organisasi
mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish
tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak
berkibar di lapangan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden
Soekarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi
Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pandapatnya tentang
demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi
atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme
dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikiran Nurcholish tersebar
melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar
Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam
Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh
orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia
pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua
orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun
1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan
Nurcholish Ketua Umum HMI.
Pemikiran Nurcholish yang paling
menggegerkan khalayak, terutama pada aktivis gerakan Islam, adalah saat
pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pertanyaan “Islam Yes,
partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah
menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dalam
pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih
Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai
milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan
Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi
baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena
keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke
arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti
asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor
H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad
Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in
Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai
anggata Oprasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah
Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena
kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah
bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada
Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan
politik. Nurcholish sata-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak
memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki
segalanya, militer, birokasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban
kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar.
“Cak Nur percaya pada checks and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memiliki Golkar, dan dia tak masuk
Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema
demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta
terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish
semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di
Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang
filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais
dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang
menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika
dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara Qoth’i (jelas) untuk membentuk negara
Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga
menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang
dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya
di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara
lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur
saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang
menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut
seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Di kalangan alumni HMI,
Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, pada saat Korps Alumni HMI (KAHMI)
akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden
Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kwan HMI-nya untuk menghadap
presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutinya. Tapi ada yang menyatakan
dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, Pertemuan menjadi cukup kuat,”
kata Mas Tom.
sumber :
-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Jombang
-Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono
-Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Jombang
-Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono
-Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Comments
Post a Comment