Biografi KH Wahid Hasyim
Negarawan dan Tokoh Islam
Abdul Wahid Hasyim lahir di
Jombang pada tahun 1914. Ia dibesarkan dalam lingkungan keagamaan, khususnya
dari ayahnya KH Hasyim Asy’ari, yang memiliki Pondok Pesantren Tebuireng. Lewat
pondok pesantren itu, Wahid Hasyim belajar pengetahuan agama.
Untuk mendapatkan pengetahuan
agama lebih banyak, Wahid juga belajar di pesantren-pesantren lain. Sesudah
menuntut ilmu di berbagai pesantren, ia membantu ayahnya mengajar di Tebuireng.
Wahid Hasyim selain mempelajari
agama juga rajin membaca dan mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan lain dengan
terlebih dulu mempelajari membaca dan menulis huruf Latin. Di Pesantren
Tebuireng, Wahid Hasyim menganjurkan para santrinya untuk belajar huruf Latin.
Hal itu menjadi modal untuk mempelajari ilmu pengetahuan lain. Untuk menunjang
usaha itu, Wahid Hasyim mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Nidhomiah.
Sekolah itu dianggap modern pada waktu itu karena di samping belajar ilmu agama
dan ilmu pengetahuan, para santri juga dilatih berorganisasi dan berpidato.
Oleh karena itu, di samping sekolah juga didirikan Ikatan Pelajar-Pelajar Islam
(IPPI).
Usaha Wahid Hasyim pada awalnya
banyak mendapat tantangan hebat dari para orang tua murid. Mereka mengancam
akan menarik anaknya dari pesantren yang didirikannya itu. Sesudah dijelaskan
dan mengetahui tujuan dan alasan yang hendak dicapai, maka orang tua murid
dapat menerimanya.
Dalam perjalanan panjang menuju Indonesia sebagai
negara yang berdaulat, Wahid Hasyim ikut terlibat dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Satu isu yang paling
kontroversial dan menjadi perdebatan yang tak kunjung usai adalah hubungan
negara dan agama.
Saat itu, dalam sidang BPUPKI,
terjadi polarisasi pendapat secara tajam. Para tokoh Islam pada umumnya
menginginkan negara Islam. Sementara kaum nasionalis menghendaki agar agama
dipisah dari urusan negara.
Adalah KH Abdul Wahid Hasyim,
pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) turut menghiasi perjalanan politik bangsa
Indonesia. Ia masuk dalam sub komite BPUPKI yang dibentuk untuk mencari jalan
keluar terbaik bagi masa depan bangsa. Saat itu memang BPUPKI, badan bentukan
Jepang ini bertugas mempersiapkan bentuk dan dasar negara.
Sub Komite BPUPKI akhirnya
berhasil merumuskan dasar negara. Hasil kesepakatan yang dikenal dengan nama
Piagam Jakarta itu lantas dicantumkan dalam preambul UUD 1945 yang disahkan
pada tanggal 22 Juni 1945. Salah satu sila di dalam Pancasila hasil rumusan
Wahid Hasyim dan kawan-kawan antara lain tercantum kata-kata “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”.
Ternyata rumusan itu
diperdebatkan dalam sidang BPUPKI berikutnya. Wongsonegoro misalnya, menganggap
bahwa kalimat itu bisa menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksa umat
Islam menjalankan syariatnya. Tetapi menurut Wahid Hasyim, kalimat tersebut
tidak akan berakibat sejauh itu. Ia juga mengingatkan bahwa segala perselisihan
yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah. Namun akhirnya para “Bapak
Bangsa” (Founding Fathers) setuju untuk menghapus kata-kata yang kontroversial itu.
Pemikiran Wahid Hasyim juga
sempat mewarnai rancangan pertama UUD. Ia pernah mengusulkan agar pada Pasal 4
ayat (2) rancangan UUD disebutkan bahwa yang dapat menjadi presiden dan
wakilnya adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam. Selain itu, pada Pasal
29, Kiai Wahid Hasyim menginginkan rumusan sebagai barikut: “Agama negara
adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama lain
untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.”
Alasannya, jika presidennya beragama Islam
perintahnya akan mudah dipatuhi rakyat yang mayoritasnya muslim. Selain itu,
Islam sebagai agama negara mendorong umat Islam berjuang membela negaranya.
Dengan alasan itulah akhirnya, gagasan mantan Ketua Masyumi itu diterima
BPUPKI. Namun usulan itu ditinggalkan dalam sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Dalam penggalan sejarah
berikutnya Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan:
Kabinet RIS (Desember 1949 – Desember 1950), Kabinet Mohammad Natsir (September
1950 – April 1951) dan Kabinet Sukiman (April 1951 – April 1952). Di zaman
Wahid Hasyim, Departemen Agama memiliki visi dan misi yang jelas.
Di bawah kepemimpinan Wahid
Hasyim, NU menyatakan keluar dari Masyumi pada 1952. Selanjutnya NU berkibar
sendiri sebagai partai politik. Dalam Pemilu 1955, NU termasuk empat partai
yang memperoleh suara terbanyak.
KH. Wahid Hasyim wafat pada tanggal
19 April 1959
sumber :
-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Jombang
-Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono
-Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Jombang
-Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono
-Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Comments
Post a Comment