Profesi Bule yang Tidak Umum di Indonesia
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan untuk menyambung hidup. Dalam
pengertian pekerjaan ini, sesuatu yang kita lakukan agar mendapat
bayaran untuk membiayai kebutuhan hidup. Mungkin seperti itulah
pengertian pekerjaan. Biasanya di Indonesia, kebanyakan atasan sebuah
kantor adalah seorang bule yang di datangkan dari luar negeri untuk
memberi contoh cara memimpin perusahaan agar lebih maju. Namun beberapa
bule dibawah ini, karena alasan tertentu memilih pekerjaan yang bisa
dikatakan tidak lazim untuk dilakukan oleh seorang bule. Namun semangat mereka perlu kita contoh. Sahabat anehdidunia.com berikut Pekerjaan bule paling tidak biasa di Indonesia.
Fabrizio Urzo Pedagang Gorengan di Surabaya
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgj8qL0opaW4eI4hoHZ1t8Uptz02a0rydqVJM5OEjyMXPEP5YFhXckhDpHvJgwsNFFEahLK2MxI_o3U_mcwg9-4Q88gHKzn7CtL4RoZmt6ePsbGuFheH4ACP7TufHXZdA38flx5YLbkZQWZ/s1600/Fabrizio-Urzo-Pedagang-Gorengan.jpg)
Sahabat anehdidunia.com Fabrizio Urso, seorang bule asal Italia sudah
tujuh bulan ini berjulan gorengan di Jalan Manyar Kertoarjo Surabaya,
Bule yang sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia itu awalnya bekerja
sebagai chef (kepala koki) di sebuah restoran Italia di Jalan Imam
Bonjol, Surabaya. Sejak awal tahun 2014, Fabrizio meninggalkan
pekerjaanya di restoran tersebut dan beralih menjadi seorang wirausaha
dengan menjual gorengan. Fabrizio mengaku tidak nyaman bekerja ikut
orang, dia menilai bahwa lebih bahagia punya usaha sendiri walaupun
usahanya kecil.
“Ya menurut saya lebih menyenangkan jika bekerja sendiri. Saya stres
bekerja dengan orang dan tidak membuat saya bebas. Kalau begini saya
lebih senang punya usaha sendiri,” ujar pria 39 tahun pemuja klub sepak
bola AS Roma itu. Pria yang mempunyai istri wanita Indonesia bernama
Novita itu menjual bermacam-macam jenis gorengan mulai dari pastel,
ote-ote, pisang goreng, tahu isi, hingga kue lapis. Fabrizio mematok
harga gorenganya mulai dari Rp 1000 hingga Rp 3000.
Glenn Penjual Burger dan Donat di Purwokerto
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFj7hn4Ze8P4vzZwtpb43ljiTF3NQv2eocpSHABr86hpre_GJoyul95KNXwdJOZdJJiYOLhpaMfewtvI27QisFibFCAiznAO_z2P9odAicHZx2nkwrE77Jj0aLuAkxztszuup5GybJN11a/s1600/Glenn-Penjual-Burger.jpg)
Namanya GLEN pria asli Denver, Colorado - USA. Awalnya kedatangannya ke
Indonesia 2001 di Jakarta - Indonesia yang sebenarnya di-asumsikan
untuk mengajar Bahasa Inggris dan ditipu oleh rekannya yang orang asli
Indonesia tidak membuat GLENN patah semangat. Apalagi sejak
pernikahannya tahun 2003 dengan Purwita Wijayanti yang asli Kroya -
Cilacap terjadi, GLENN seperti mendapatkan semangat baru untuk menapaki
kehidupannya di Indonesia.
Berbagai cara dijalaninya untuk bertahan hidup dengan istri dan 2 orang
anaknya mulai dari jualan Brownies, Catering untuk Wedding hingga jualan
Burger dan Donat yang sekarang tengah dijalaninya. Keseharian GLENN
sendiri sebenarnya tidak hanya berdagang makanan sebelum istrinya
Purwita Wijayanti 34th di vonis menderita Kanker Serviks stadium IIB.
Kesibukannya selain berdagang adalah sebagai tenaga pengajar pada
sekolah ternama dan pembicara bebas sebuah perguruan tinggi negeri yang
ada di Purwokerto. Namun sejak istrinya di vonis menderita Kanker
Serviks IIB maka GLENN lah yang menggantikan istrinya berjualan Burger
dan Donat.
Gavin Birch Pemungut Sampah di Lombok
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwN-rnIHfnMcbevRuU6YoAzDg2-eW6kkXxZ5wHqxKpLNBkApv6ZS18vEe3bsEj6fcDt5PCiofKIDIYzdZ1nihrnJg-2ZU-VftM4LqrPIhk96U-kInkstiO2EF8sENqr17pYXPs2uwwgO9H/s1600/Gavin-Birch-Pemungut-Sampah.jpg)
Gavin Birch itulah namanya dulu. Tapi ketika ia mulai menetap di Lombok
ia lebih dikenal dengan nama Husin Abdullah. Dilahirkan di Selandia Baru
dan dibesarkan di Perth, Australia. Dia sering mengunjungi Pantai
Senggigi di Lombok. Sahabat anehdidunia.com orang-orang disana sering
menyebutnya sebagai “turis gila”. Hal itu karena pekerjaan bule
ini yang selalu bergumul dengan sampah setiap mengunjungi pantai
Senggigi. Namun, Husin seakan tidak perduli dengan gelar yang disematkan
warga sekitar padanya. Ia hanya bertekad untuk mengajak orang banyak
untuk bisa hidup bersih. Baginya Indonesia itu harus bersih dan hijau.
Mengapa ia bisa tiba-tiba menjadi seorang pemungut sampah di Senggigi?
Kisahnya di mulai tahun 1986 saat pertama kalinya menginjakkan kaki di
Pulau Lombok sebagai seorang turis. Saat itu ia kecewa karena banyaknya
tumpukan sampah di pantai-pantai yang ada di sana. Niatnya untuk
berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok pun tidak menjadi
seperti impian awalnya. Bahkan pantai Ampenan yang menyimpan potensi
wisata pun penuh dengan kotoran manusia. Tapi, uniknya ia tidak langsung
pergi beranjak menjauh ketika itu. Ia yakin, ketika itu jika masyarakat
sekitar peduli dengan kebersihan maka pantai tersebut pasti akan indah
dilihat.
Sejak itulah ia mulai bergerak sendiri. Memungut sampah di sekitar
pantai dan mengumpulkannya. Berbagai komentar mulai diterimanya. Ada
yang simpati, tapi ada juga yang memandang sebelah mata. Salah satu dari
masyarakat yang simpati yaitu Lurah Kampung Melayu Ampenan Haji Hairi
Asmuni memintanya untuk menetap di Lombok sebagai bentuk apresiasinya.
Sejak itu ia mulai menerapkan “Program Indonesia Bersih dan Hijau” yang
diadopsi dari program kebersihan di Australia. Bahkan, Husin juga sempat
menawarkannya kepada pemerintah di sana. Namun hal itu tidak disambut
baik karena ketiadaan dana. Akhirnya ia mulai bergerak sendiri dengan
menggunakan uang dari koceknya sendiri. Husin tidak mengeluh, katanya,
itu sebagian dari bentuk amal.
Perjuangannya selama 24 tahun pun ternyata tidak berakhir sia-sia. Kini
di kawasan Jalan Raya Senggigi bersih dari sampah. Meski kini ia telah
tiada pada tanggal 18 Agustus 2010 lalu. Tapi banyak hal yang telah
ditinggalkannya dan sangat bermanfaat untuk orang sekitarnya. Sekedar
renungan, mana yang lebih gila, turis asing yang rela menghabiskan sisa
hidupnya untuk membersihkan lingkungan atau anak negeri sendiri yang
suka membuang sampah di halaman rumahnya?
Andre Graff Penggali Sumur di Sumba Barat
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhul5y0tbpOx8X9rqk_IUr7d30SFfQBfK7HQqzhOEvaPu64o85n3NrtSCnDcSfz0AVZA4SY7wPcLQ6-jkRbtf20V1qFbAzhCwt7cxluUtlLC2m8DYCKf7eos3RhT8m9bOJi54MWa5trczbd/s1600/Andre-Graff-Penggali-Sumur.jpg)
Pria bernama Andre Graff, seorang warga Prancis, memilih meninggalkan
segala kemapanan hidup di negerinya untuk mengembara dan menetap di
Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ini demi menjalani kehidupan sebagai
tukang penggali sumur bagi warga yang hidupnya terdera kekeringan
berkepanjangan. Ya terdengar memang sebuah profesi seorang bule yang tidak lazim di Indonesia.
Pria yang akrab disapa Andre Sumur ini menjadi salah satu pahlawan bagi
warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur
karena perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu
Raijua.
Keputusan pergi dari Prancis dan akhirnya tinggal di bawah langit Sumba
Barat, menurut Graff, memiliki rentetan kisah sejarah tersendiri. Graff
berlatar belakang seorang pilot balon udara. Selama puluhan tahun ia
juga memimpin perusahaan balon udara di Perancis untuk pariwisata. Dia
suka menerbangkan balon udara melewati Pegunungan Alpen. Sahabat
anehdidunia.com Graff dan beberapa temannya memilih berlibur ke Bali.
Setiba di Pulau Dewata dan melewatkan hari hari dalam atmosfir budaya
serta alam lingkungan yang eksotis, mereka menyewa sebuah kapal dan
melakukan perjalanan wisata hingga ke kepulauan di Nusa Tenggara Timur
(NTT).
Kepulauan Riung, Sabu Raijua, Sumba dan Lembata, menjadi persinggahan
wisata Andre dan teman temannya. Tertarik dengan kehidupan penduduk
lokal, Andre langsung memutuskan tinggal sejenak untuk mengabadikan
aktivitas keseharian warga dalam menjalankan roda kehidupan menggunakan
kamera. Namun sejak Juni 2005, ketika dia singgah di Sabu Raijua dan
menetap di kampung adat Ledetadu. Ia melihat bahwa warga di kampung
tersebut kesulitan air bersih.
Setiap hari mereka harus berjalan 2 kilometer untuk mengambil air sumur
di dataran rendah. Ia pun merasa prihatin, lalu bertemu dengan Pastor
Frans Lakner, SJ yang sudah 40 tahun mengabdi di Sabu. Dia mengajari
saya bagaimana mencari air tanah, menggali sumur, dan membuat gorong
gorong dari beton agar air tak terkontaminasi lumpur. Gorong gorong itu
bertahan sampai bertahun tahun kemudian.
Berkat air sumur, warga bisa menanam sayur, jagung, buah, dan umbi
umbian di sekitar rumah. Mereka bisa menjual hasil kebunnya ke pasar
untuk membeli beras dan kebutuhan lain. Akhir 2007, ia memutuskan pindah
ke Lamboya, Sumba Barat, setelah warga Sabu Raijua bisa membuat sumur
sendiri. Ia tinggal dengan Rato (Kepala Suku) Kampung Waru Wora, Desa
Patijala Bawa, Lamboya. Di sini, ia membentuk kelompok pemuda beranggota
sembilan orang untuk membuat gorong gorong yang disebut GGWW (Gorong
gorong Waru Wora).
Selain pembuatan sumur, Andre juga berkeinginan membuat filtrasi air di
Lamboya, agar masyarakat bisa langsung menikmati air sumur tanpa
memasaknya lebih dulu. Selain hemat waktu, adanya filtrasi juga
mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan karena masyarakat tidak
terlalu banyak masak menggunakan kayu bakar. Andre berharap pemerintah
memiliki kepedulian terhadap langkah langkah yang telah dilakukan
terhadap masyarakat, agar selanjutnya bisa saling berkolaborasi ketika
melakukan program kegiatan. Salut!
Sergei Litvinov Penjual Es Jus di Solo
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdV1RzqakdQEDHvz3VzFQ4nl4VAuRQ5v4AQXPw9EE_gbpylkRUExKXTbUwryJrStJOZLcSwksAXx_bpXJ6pm5X6Jiw4Lz_iYGQ3-5PC_A7zuWwOCGCFVcGu3w0VdJ9trNDUeBu_gGcK-Jt/s1600/Sergei-Litvinov-Penjual-Es-Jus.jpg)
Pria asal rusia harus bertahan hidup dengan mencari uang sebagai
pedagang es jus di salah satu sudut Kota Solo. Sergei bukan pria asing
biasa yang datang ke Indonesia. Ia merupakan pemain sepakbola
profesional yang bergabung di PSLS Lhokseumawe dan berlaga di kompetisi
Indonesia Premier League sejak 2013. Sialnya selama membela PSLS mulai
dari Maret hingga Desember 2013, ia belum menerima gaji.
Sebelumnya, Sergei pernah memperkuat tim Solo FC di Indonesia Premier
League pada tahun 2011. Piutang Sergei pada PSLS Lhokseumawe mencapai
Rp 124 juta. Tak ada kejelasan kapan kesebelasan itu akan membayarnya.
Tanpa gaji, Sergei kesulitan makan, dan tidak bisa pulang ke kampung
halamannya karena terpentok biaya bahkan kini ia juga pusing karena
sang istri meminta cerai.
Kini Sergei kembali ke kota Solo dan tak lagi merumput. Selain tak
punya pekerjaan, Sergei juga tak membawa uang sebab gajinya selama
membela PSLS belum juga cair. Untuk bertahan hidup, Sergei melakukan
pekerjaan serabutan termasuk berjualan jus di kedai jus. Selain itu, ia
ikut membuat kanopi untuk rumah di kawasan Banyuanyar. Ia mengaku
membutuhkan uang sebesar Rp20 juta untuk bisa pulang ke Rusia. Selama
ini mengaku kesulitan mengumpulkan uang karena digunakan untuk
keperluan hidup sehari-hari.
Bisa kita bayangkan semangat dan kemauan keras dari bule yang bekerja
tanpa mengenal lelah dan malu. Contohlah semngat mereka. Sahabat
anehdidunia.com apapun profesi pekerjaan anda, yang tentu saja pekerjaan
yang halal, bersungguh sungguhlah dalam mengerjakannya karena dalam
kesungguhanan kita niscaya nanti akan memetik hasil seperti yang kita
inginkan. SEMANGAT
Comments
Post a Comment